Pergaulan
bebas adalah bahaya laten yang melanda umat. Dengan potret kehidupan
bermasyarakat yang bebas, lepas sama sekali dari kewajiban, tuntutan,
perasaan takut, dan berbagai aturan (termasuk syariat) yang ada, akan
tercipta sebuah kehidupan yang amburadul, tidak terhalang, terganggu,
dan sebagainya untuk bergerak, berbicara, dan berbuat dengan leluasa.
Dalam kondisi semacam ini akhirnya hawa nafsu dituhankan, syariat Islam
dicampakkan, dan rasa malu nyaris tak tersisakan. Dengan demikian, tak
ubahnya kehidupan yang dijalani seperti kehidupan binatang ternak,
bahkan lebih sesat darinya. Wallahul musta’an.
Memaknai Pergaulan Bebas
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa kata
pergaulan bermakna kehidupan bermasyarakat. Adapun kata bebas mempunyai
beberapa makna, di antaranya adalah:
- Lepas sama sekali tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga
boleh bergerak berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa.
- Lepas dari kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dan sebagainya.
- Tidak terikat atau terbatas oleh aturan-aturan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pergaulan bebas adalah
kehidupan bermasyarakat yang lepas sama sekali dari kewajiban, tuntutan,
perasaan takut, dan berbagai aturan yang ada, sehingga tidak terhalang,
terganggu, dan sebagainya untuk bergerak, berbicara, dan berbuat dengan
leluasa.
Dari sini pula dapat disimpulkan bahwa pergaulan bebas hakikatnya tidak
terbatas pada apa yang terjadi di antara para kawula muda pria dan
wanita semata.
Topik pergaulan bebas mencakup semua bentuk kehidupan bermasyarakat yang
bersifat bebas, lepas sama sekali dari kewajiban, tuntutan, perasaan
takut, dan berbagai aturan yang ada.
Menilik dari Kacamata Syariat
Para pembaca yang mulia, tidak bisa dimungkiri bahwa kehidupan
bermasyarakat secara bebas, lepas sama sekali dari kewajiban, tuntutan,
perasaan takut, dan berbagai aturan (termasuk syariat) yang ada adalah
fenomena yang terjadi pada sebagian manusia. Padahal apabila dirunut
hakikat dan ihwalnya, tidak sepantasnya mereka memilih kehidupan yang
bersifat bebas tersebut.
Betapa tidak. Dengan segala hikmah dan keadilan-Nya, Allah l menciptakan
manusia sebagai makhluk yang dilingkupi oleh segala kelemahan dan
keterbatasan. Ia mengawali kehidupannya dalam keadaan lemah, kemudian
sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian sesudah kuat itu lemah
(kembali) dan beruban. Allah l berfirman,
“Dan manusia diciptakan dalam keadaan (bersifat) lemah.” (an-Nisa’: 28)
“Allah, Dialah yang menciptakan kalian dari keadaan lemah, kemudian Dia
menjadikan (kalian) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia
menjadikan (kalian) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia
menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui
lagi Mahakuasa.” (ar-Rum: 54)
Sungguh, tanpa nikmat, karunia, pertolongan, dan kekuatan dari Allah l,
tidak mungkin manusia bisa menjalani pahit getirnya kehidupan ini dengan
selamat. Oleh karena itu, Allah l mengingatkan mereka dengan
firman-Nya,
“Hai sekalian manusia, kalianlah yang amat butuh kepada Allah, dan Allah
Dia-lah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.”
(Fathir: 15)
Demikianlah manusia dengan segala kelemahan dan keterbatasannya. Semua
hakikatnya dalam perjalanan menuju Rabb-nya, sedangkan kemampuan beramal
sangat terbatas pada umur yang Dia l tentukan. Saat kematian tiba, tak
seorang pun dapat menghindar atau tertangguhkan darinya. Allah l
berfirman,
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang
apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kalian kerjakan.” (al-Munafiqun: 11)
Ditinjau dari sudut keimanan, kehidupan dunia yang dijalani oleh manusia
itu bukanlah akhir perjalanannya. Masih ada dua kehidupan berikutnya;
di alam barzah (kubur) dan di alam akhirat. Di alam barzah (kubur),
setiap manusia akan menghuninya seorang diri tanpa ditemani oleh kawan
atau orang yang dicintainya. Segudang harta yang telah lama ditimbunnya
di dunia tak lagi setia di sampingnya. Dengan hanya mengenakan kain
kafan yang melilit tubuh, berbaring di atas seonggok tanah yang tak
beralas di liang lahat yang sempit, masing-masing akan mendapatkan azab
kubur atau nikmat kubur sesuai dengan perhitungannya di sisi Allah l.
Di alam akhirat, masing-masing akan menghadap Allah l seorang diri pula
guna mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan yang dikerjakannya
selama hidup di dunia. Ia akan diberi balasan yang setimpal oleh Allah l
atas segala yang diperbuatnya itu. Allah lberfirman,
“Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (Maryam: 95)
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja (berbuat) dengan penuh
kesungguhan menuju Rabb-mu, maka pasti kamu akan menemui-Nya (untuk
mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang dilakukan).” (al-Insyiqaq:
6)
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah (semut yang
sangat kecil) pun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa
yang mengerjakan kejelekan seberat zarrah (semut yang sangat kecil)
pun, niscaya dia akan melihat balasannya.” (az-Zalzalah: 7—8)
Jika demikian, tak diragukan lagi bahwa kehidupan bermasyarakat secara
bebas, lepas sama sekali dari kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dan
berbagai aturan (termasuk syariat) yang ada hukumnya adalah haram. Oleh
karena itu, dari sisi manakah uzur manusia untuk memilih kehidupan
bermasyarakat secara bebas tersebut? Pantaskah perilaku buruk tersebut
ditujukan kepada Allah l, Pencipta alam semesta ini?! Betapa naifnya
manusia (siapa pun dia) apabila memilih kebebasan dalam kehidupan
bermasyarakatnya dengan menuhankan hawa nafsu, melepaskan diri dari
ikatan syariat Islam yang mulia, dan mencampakkan fitrah yang suci.
Mengapa Muncul Pergaulan Bebas?
Pergaulan bebas tidaklah terjadi begitu saja. Segala sesuatu ada sebab
yang melatarbelakanginya. Adakalanya dilatarbelakangi oleh persepsi yang
salah dalam memahami hakikat kehidupan. Bisa jadi, mereka berpandangan
bahwa kehidupan itu tidak lain kehidupan di dunia saja dan tidak ada
yang akan membinasakan selain masa. Dengan demikian, setelah tiba
kematian, selesailah kehidupan tanpa ada pertanggungjawaban. Di samping
itu, bisa jadi hal ini dilatarbelakangi oleh kurangnya ilmu dan iman.
Adakalanya karena meniru budaya barat (baca: kafir) dan lainnya.
Ujungnya, ayat-ayat Allah l dicampakkan dan hawa nafsu dituhankan hingga
rasa malu tak tersisakan. Akhirnya, laju kehidupan tak terkendalikan.
Manakala sebuah kehidupan tak lagi mengindahkan rambu-rambu ilahi yang
suci dan semakin nyata bentuk penentangan terhadap sang Pencipta Yang
Mahakuasa, maka Allah l akan membiarkan pelakunya tersesat berdasarkan
ilmu-Nya. Allah akan l mengunci mati pendengaran dan hatinya serta
meletakkan tutupan atas penglihatannya. Allah l berfirman,
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah
mengunci mati pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah
Allah (membiarkannya sesat)? Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran? Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah
kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang
akan membinasakan kita selain masa,’ dan mereka sekali-kali tidak
mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah
menduga-duga saja. Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami
yang jelas, tidak ada bantahan mereka selain dari mengatakan,
‘Datangkanlah nenek moyang kami jika kalian adalah orang-orang yang
benar.’ Katakanlah, ‘Allahlah yang menghidupkan kalian kemudian
mematikan kalian, setelah itu mengumpulkan kalian pada hari kiamat yang
tidak ada keraguan padanya; akan tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui’.” (al-Jatsiyah: 23—26)
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kehidupan ini tak bisa dijalani begitu
saja tanpa tatanan dan aturan yang harus diikuti. Sebagai pribadi
muslim, tatanan dan aturan yang harus diikuti adalah syariat Islam yang
dibawa oleh Rasulullah n, bukan hawa nafsu, adat istiadat, atau budaya
suatu negeri.
Demikianlah bimbingan Allah l terhadap Rasul-Nya yang mulia, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (rincian aturan
hidup yang harus dijalani) dari urusan (agama itu), maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.” (al-Jatsiyah: 18)
Mengapa yang dijadikan sebagai tatanan dan aturan itu adalah syariat
Islam yang dibawa oleh Rasulullah n, bukan hawa nafsu, adat istiadat,
atau budaya suatu negeri?
Ya, karena syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah n itu selain
sempurna dan memenuhi segala kebutuhan hidup umat manusia, ia pun sangat
sesuai dengan fitrah yang suci. Syariat tersebut tidak memiliki
kesempitan dan bukan belenggu yang memberatkan. Hal ini sebagaimana
firman Allah l,
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan.” (al-Hajj: 78)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t dalam ceramah agama yang bertajuk
asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa Mahasinuha wa Dharuratu al-Basyar Ilaiha
mengatakan, “Syariat ini dipenuhi oleh kemudahan, toleransi, kasih
sayang, dan kebaikan. Selain itu, syariat ini juga dipenuhi oleh
maslahat yang tinggi dan senantiasa memerhatikan berbagai sisi yang
mengantarkan para hamba kepada kebahagiaan dan kehidupan yang mulia di
dunia serta di akhirat.”
Dengan demikian, sangatlah berbeda kondisi orang-orang yang hidup di
bawah naungan syariat Islam dengan orang-orang yang hatinya membatu.
Allah l berfirman,
“Maka apakah orang-orang yang Allah lapangkan dadanya untuk (menerima)
agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang
membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah
membatu hatinya untuk mengingat Allah, mereka itu dalam kesesatan yang
nyata.” (az-Zumar: 22)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di t berkata, “Apakah orang yang
Allah l melapangkan dadanya untuk menyambut agama Islam, siap menerima
dan menjalankan segala hukum (syariat) yang dikandungnya dengan penuh
kelapangan, bertebar sahaja, dan di atas kejelasan ilmu (inilah makna
firman Allah l, ‘ia mendapat cahaya dari Rabbnya’), sama dengan
selainnya? Yaitu, orang-orang yang membatu hatinya terhadap Kitabullah,
enggan mengingat ayat-ayat-Nya, dan berat hatinya untuk menyebut
(nama)-Nya. Bahkan, kondisinya selalu berpaling dari (ibadah kepada)
Rabbnya dan mempersembahkan (ibadah tersebut) kepada selain Allah l.
Merekalah orang-orang yang ditimpa oleh kecelakaan dan kejelekan yang
besar.” (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 668)
Betapa indahnya syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah n itu. Syariat
yang memerhatikan hubungan antara hamba dengan Allah l, Sang Pencipta.
Syariat yang memosisikan-Nya sebagai tumpuan dalam hidup ini, berserah
diri kepada-Nya, tunduk dan patuh kepada-Nya, memurnikan ibadah hanya
untuk-Nya, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Di samping
itu, syariat ini memerhatikan hubungan antara hamba dan sesamanya,
dengan cara menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda,
menyantuni yang lemah, membantu orang yang tertimpa
musibah,
menyambung tali silaturahim, menjaga hubungan baik dengan tetangga,
memuliakan tamu, jujur dalam berbuat dan berkata, serta hal-hal lainnya.
Syariat ini bersifat adil dan tepat, tidak berlebihan dan tidak
bermudah-mudahan dalam segala aspeknya.
Atas dasar itu, setiap pribadi muslim wajib berpegang teguh dengan agama
Islam dan syariatnya yang sempurna selama hayat masih dikandung badan.
Setiap muslim seharusnya mengedepankannya di atas segala dorongan hawa
nafsu, adat istiadat/budaya negerinya, dan yang selainnya. Selain itu,
seorang muslim juga senantiasa menaati Rasulullah n dan tak menentangnya
sedikit pun. Dengan demikian, ia akan terbimbing untuk masuk ke
al-jannah (surga) dan diselamatkan dari azab Allah l yang amat pedih.
Rasulullah n bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا
رَسُولَ اللهِ، وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ،
وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Semua umatku akan masuk ke dalam al-Jannah (surga) kecuali yang
enggan.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang
enggan itu?” Rasulullah menjawab, “Barang siapa yang taat kepadaku pasti
masuk ke dalam al-jannah (surga), dan barang siapa menentangku maka
dialah orang yang enggan.” (HR. al-Bukhari no. 7280 dari sahabat Abu
Hurairah z)
Dampak Pergaulan Bebas Bagi Masyarakat
Para pembaca yang mulia, pergaulan bebas dengan pengertian di atas
sangat berdampak bagi masyarakat. Betapa tidak, manakala sebuah
masyarakat menuhankan hawa nafsu, sementara itu syariat dicampakkan
begitu saja dan tak berbekas dalam kalbu, setiap individu mereka akan
hidup tanpa rambu-rambu, tidak terhalang untuk bergerak dan berbicara
serta leluasa berbuat segala sesuatu tanpa rasa malu. Akhirnya,
kehidupan masyarakat yang seperti itu tak ubahnya seperti kehidupan
binatang ternak, bahkan lebih sesat darinya.
Hal ini sebagaimana firman Allah l,
ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ
“Tidakkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah
kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami.
Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (al-Furqan: 43—44)
Bisa dibayangkan, betapa hancurnya sebuah masyarakat manakala
kehidupannya sama dengan kehidupan binatang ternak, bahkan lebih sesat
darinya. Di antara mereka ada yang bergelimang dalam kesyirikan, ada
yang tenggelam dalam kebid’ahan, ada yang berbuat zina, minum minuman
keras (miras), narkoba, berjudi dengan segala modelnya, pornoaksi,
pornografi, dan berbagai kemaksiatan lainnya. Sementara itu, pembunuhan,
perampokan, penjambretan, pencurian, korupsi, penipuan, dan berbagai
tindakan kriminalitas lainnya menjamur di mana-mana.
Di antara contoh kasus dari dampak pergaulan bebas itu adalah apa yang
terjadi pada para pemuda dan pemudi yang tergabung dalam kelompok punk.
Sebuah kelompok yang ekstrem mengampanyekan hidup secara bebas.
Perhatikanlah kehidupan mereka! Mereka tak pernah memerhatikan
kebersihan dan kesehatan diri sendiri, apalagi lingkungan sekitarnya.
Dengan penampilan rambut yang khas, tubuh yang kotor, dan pakaian yang
lusuh, bebas bergerak ke sana dan kemari, dari satu kota ke kota lainnya
tanpa memedulikan norma-norma agama, bimbingan orang tua, dan aturan
pemerintah. Mereka berkumpul, bahkan tidur di perempatan-perempatan
jalan, campur baur antara lelaki dan perempuan secara bebas tanpa ada
rasa malu.
Sebuah realitas kehidupan yang menyedihkan. Padahal para pemuda dan
pemudi itu adalah aset utama setiap umat. Merekalah generasi penerus
bangsa dan pemeran utama dalam banyak lini kehidupan bermasyarakat.
Apabila kondisi para pemuda dan pemudinya seperti itu, bisa dibayangkan
betapa buruknya kondisi suatu umat, generasi, dan bangsa. Berdasarkan
hal ini, dapat diketahui bahwa pergaulan bebas adalah bahaya laten yang
harus selalu diwaspadai oleh setiap pribadi muslim. Keberadaannya di
tengah umat sangat berdampak bagi kehidupan masyarakatnya.
Akhir kata, semoga sajian “Manhaji” kali ini dapat bermanfaat bagi kita
semua, menyinari jiwa yang gelap karena belenggu hawa nafsu, melunakkan
hati yang membatu karena karat-karat dosa, dan menyejukkan pandangan
para pencari kebenaran.
Amin, ya Rabbal ‘alamin.